Rabu, 26 Mei 2010

Mengapa Trafiking Anak Berbeda?

Trafiking (perdagangan orang) adalah kejahatan yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Sejak zaman purba masalah perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi (perbudakan) sudah menjadi kelaziman. Homo homini lupus, demikian Thomas Hobbes dalam Leviathan. Bahwa manusia adalah serigala bagi yang lainnya, dan serigala yang kuat tentu saja boleh menghabisi srigala yang lemah. Dengan prinsip itu manusia yang kuat melakukan perbudakan bagi manusia yang lemah. Praktek ini terus berlangsung sampai dengan zaman datangnya nabi-nabi yang ada dalam agama samawi. Di zaman modern praktek ini tak lapuk. Perdagangan orang terus dilakukan oleh manusia yang hidup dalam abad peradaban sekarang ini. Tentu saja cara (modus) yang dilakukan oleh pelaku berkembang, tidak lagi sebagaimana yang dilakukan manusia-manusia di zaman purba. Secara dejure, praktek perbudakan dan perdagangan orang sudah dihapuskan dan berlawanan dengan hukum (illegal) karena melanggar harkat dan martabat manusia dan pelanggaran atasnya dapat dikenakan sanksi. Untuk itu pelaku perdagangan manusia melakukan kejahatannya secara tertutup. Pelaku bekerja melalui sebuah jaringan yang terselubung rapi dan tak kasat mata. Defacto membuktikan hal itu ada dalam kehidupan masyarakat. Anak adalah menusia yang paling rentan menjadi korban trafiking. Pisik dan psikis yang masih dalam masa perkembangan (dan cenderung lemah) membuat mereka menjadi sasaran empuk para pelaku. Menurut perkiraan dari UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak) terdapat 1,2 juta anak menjadi korban trafiking tiap tahunnya. Dan untuk Indonesia UNICEF memperkirakan ada 100 ribu anak menjadi korban trafiking tiap tahunnya (lembar fakta tentang eksploitasi seks komersial dan perdagangan anak, www.unicef.org). Artinya tiap minggu ada 3.287 anak diperdagangkan tiap harinya di dunia dan sejumlah 273 anak diperdagangkan tiap harinya terjadi di Indonesia. Kejahatan tersebut ada di semua pelosok bumi, tak terbatas pada Indonesia sebagaimana prakiraan di atas. Di depan mata kita sendiri. Trafiking anak Adalah manusia yang berumur dibawah 18 (delapan) tahun, demikian KHA (Konvensi Hak Anak) memaknai defenisi anak. Karena usianya yang masih belia (menuju kedewasaan) maka anak memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam hal fisik dan psikologis. Oleh karenaya KHA mengamanahkan beberapa hak anak yang harus diakui diakui, dilindungi, dan dipenuhi. Tidak seorangpun atau kekuasaan apapun boleh melanggar hak-hak tersebut. Keterbatasan anak inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa anak menjadi korban trafiking. Pelaku dengan lihai dapat dengan mudah menjadikan anak sebagai korban. Cara cara yang dilakukan oleh pelaku sangat kreatif dan kejam, direncanakan untuk menipu dan mencurangi. Seringkali kelicikan ini dilakukan dengan memberikan janji-janji pernikahan, pekerjaan, kesempatan mendapat pendidikan, atau kehidupan yang lebih baik. Usaha untuk melindungi anak dan memerangi kejahatan trafiking terus dilakukan oleh dunia internasional. Bertepat di kota Palermo, Italia, pada tanggal 12 Desember 2000, negara-negara dunia duduk bersama membicarakan kejahatan trafiking, khususnya trafiking anak dan perempuan. Pertemuan ini menghasilkan sebuah deklarasi: protokol palermo. Dalam protokol palermo yang disebut dengan perdagangan orang (trafficking in persons) adalah berarti rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, melabuhkan atau menerima orang, dengan cara ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, tipuan, kekuasaan atau ketidak berdayaan atau memberi atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan konsent seseorang untuk mendapatkan kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pemindahan organ tubuh. Khusus untuk anak, protokol ini menekankan bahwa rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, melabuhkan atau menerima seorang anak untuk tujuan eksploitasi dianggap sebagai “perdagangan orang” walaupun tidak dilakukan dengan cara ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, tipuan, kekuasaan atau ketidak berdayaan atau memberi atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan konsent seseorang untuk mendapatkan kendali atas orang lain, sebagaimana disebutkan dalam perdagangan orang. Kalau kita cermati, defenisi perdagangan orang (dewasa) harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni proses, cara, dan tujuan. Yang dimaksud dengan proses di sini adalah rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, melabuhkan atau menerima orang. Sedangkan yang dimaksud dengan cara adalah ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, tipuan, kekuasaan atau ketidak berdayaan atau memberi atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan konsent seseorang untuk mendapatkan kendali atas orang lain. Selanjutnya maksud dari tujuan adalah eksploitasi yang mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pemindahan organ tubuh. Sedangkan untuk kasus anak hanya memerlukan 2 (dua) unsur yakni proses dan tujuan. Artinya untuk memenuhi satu delik bernama perdagangan orang khusus untuk anak maka hanya diperlukan dua unsur yakni proses (rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, melabuhkan atau menerima orang) dan tujuan (eksploitasi yang mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pemindahan organ tubuh) Dalam rumusan perdagangan orang khusus untuk anak tersebut unsur cara menjadi tidak penting atau tidak relevan. Di sinilah letak kekhususan perdagangan anak. Dalam hal ini berlaku lex spesiale derogat lex generale, aturaran yang khusus (defenisi perdagangan anak) mengenyampingkan aturan yang umum (defenisi perdagangan orang dewasa) Undang-Undang PTPPO Komitmen pemerintah Indonesia untuk turut serta memerangi kejahatan trafiking dapat kita lihat atas usahanya membuat satu peraturan perundang-undangan. Pada 20 Maret 2007 Pemerintah Indonesia mengesahkan berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (lazim disebut UU PTPPO). UU PTPPO tidak mengatur secara khusus tentang pengertian Perdagangan Anak (trafiking anak). UU ini hanya mengatur soal anak yang menjadi korban perdagangan orang. Dalam undang-undang itu dikatakan bahwa perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dengan berpijak pada rumusan tersebut maka kejahatan trafiking anak sama dengan trafiking orang dewasa. Artinya tiap unsur dari kejahatan (proses, cara, dan tujuan) harus dipenuhi. Hal ini sangat disayangkan mengingat anak adalah korban yang sangat rentan terhadap kejahatan ini sehingga sudah semestinya diberikan perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian UU PTPPO belum sepenuhnya mengakomodir perdagangan anak melainkan hanya memuat perdagangan orang dengan korban anak bukan perdagangan anak karena tidak mencantumkan definisi perdagangan anak yang secara substansi sangat berbeda dengan perdagangan orang. Karena perdagangan anak tidak memasukkan unsur ”cara” sebagai salah satu unsur trafiking, sehingga apapun caranya selama memenuhi unsur ”proses” dan ”tujuan” maka termasuk trafiking sesuai dengan Protokol Palermo. Penutup Anak adalah manusia manusia kecil yang masih lemah, baik fisik maupun mental. Dengan demikian mereka memerlukan perlakuan-perlakuan khusus dalam kehidupannya untuk mencapai kedewasaan. Untuk itu setiap tindakan (orang dewasa) harus dilakukan untuk menjamin anak mendapatkan hak-haknya. Tak ada satu kekuasaanpun yang boleh melanggar dan merampas hak anak. Termasuk menjadikan mereka korban trafiking. Untuk mengurangi jumlah perdagangan anak Pemerintah Indonesia sudah semestinya meninjau ulang produk hukumnya tentang perdagangan orang tersebut. Kesalahan yang nampaknya sangat sepele dalam rumusan UU PTPPO tersebut (dapat) berakibat fatal. Jumlah perdagangan anak akan semakin meningkat dan ironisnya pelaku tidak dapat dijerat oleh hukum karena unsur-unsur sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi. Pemerintah Indonesia juga semestinya meratifikasi Protokol Palermo agar dapat diberlakukan menjadi hukum positif di Indonesia. Dengan demikian kelemahan dari UU PTPPO dapat ditutupi dengan memberlakukan protokol tersebut
http://kksp.or.id/id/?pilih=lihat&id=134&topik=5/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar