Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan
A. Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan
Ada 3 orientasi teori besar dalam psikologi lingkungan yang menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku disebabkan oleh faktor dalam (deterministik). Dua, perilaku disebabakan faktor lingkungan atau proses belajar. Ketiga, perilaku disebabkan interaksi manusia-lingkungan.
Beberapa pendekatan teori dalam psikologi lingkungan yaitu : Teori Arousal, Teori Stimulus Berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori Stres Lingkungan, dan Teori Ekologi.
1. Teori Arousal (Arousal Theory)
Arousal (pembangkit) : tingkat keterbangkitan adalah bagian penting dari emosi. Teori ini berpendapat bahwa emosi tingkat tinggi dalam keterbangkitan seperti : kemarahan, ketakutan dan kenikmatan, sedangkan tingkat keterbangkitan yang rendah seperti : kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti dan prabowo, 1997). Dalam psikologi lingkungan hubungan antara arousal dengan kinerja.
Menurut Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1985) menjelaskan bahwa emosi muncul pada saat tidak diharapkan atau pada saat rintangan yang tertantang untuk mencapai tujuan yang menimbulkan pengalaman emosional. Perubahan emosi yang secara ekstrim seperti : bergembira dan bergairah pada saat tertentu atau perasaan dukacita. Mandler menamakan sebagai teori interupsi. Manusia memiliki motivasi untuk mencapainya yang disebut “dorongan-keinginan otonomik” fungsinya untuk memunculkan arousal sehingga dapat berubah-ubah dari aktifitas ke satu aktifitas lainya
Menurut sarwono, 1992 dalam psikologi lingkungan hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dijelaskan : tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah, makin tinggi tingkat arousal akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula.
2. Teori Beban Stimulus (Stimulus Load Theory)
Teori beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Menurut Cohan (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) input (masukan) yang melebihi kapasitas akan cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak ke hal lain. Jika kelebihan kapasitas sehingga individu tidak mampu lagi mengatasi kognisinya, maka menyebabkan individu mengalami gangguan kejiwaan seperti merasa tertekan, bosan, dan tidak berdaya. Manusia akan memilih stimulus mana yang akan dipriotaskan atau diabaikan untuk menentukan reaksi-reaksi positif dan negatif terhadap lingkungan.
Teori ini juga mempelajari pengaruh stimulus lingkungan yang kurang menguntungkan. Perilaku-perulaku yang muncul dalam situasi tertentu ada yang understimulus ataupun berbalik menjadi overstimulus.
3. Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)
Teori Kendala Perilaku membahas tentang kenyataan, atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu terhadap lingkungan. Menurut Stokols (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) lingkungan dapat mencegah, mencampuri, atau membatasi membatasi perilaku penghuni. Teori ini berkenyakinan dalam situasi tertentu seseorang benar-benar kehilangna beberapa tingkat kendali lingkunganya.
Brem-brem (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) memiliki enomena ini beistilah reakstansi psikologi (psycological reanctance). Berpendapat ketika merasakan bahwa kita sedang kehilangan kontrol atau kendali terhadap lingkungan, berawal dari merasa dalam diri yang tidak nyaman kemudian mencoba menekankan lagi fungsi kendali kita.
Sarwono (1992) menjelaskan situasi yang tidak menyenangkan jika pilihan alternatif tidak ada, atau bertingkahlaku alternatif lain yang dicoba untuk dikakukannya ternyata gagal dalam mengatasinya dan terjadi berulangkali, maka akan memunculkan perasaan putus asa ataupun tidak berdaya. Ketidakberdayaan inilah yang disebut learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).
4. Teori Tingkat Adaptasi
Sarwono (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) teori tingkat adapatasi lebih membicarakan secara spesifik, yaitu 2 proses yang terkait pada hubungan tersebut:
a. adaptasi adalah mengubah tingkah laku atau respon-respon agar sesuai dengan lingkunganya, misalnya dalam situasi yang keadaan dingin atau suhu menurun yang menyebabkan terjadinya otot kaku dan dapat menurunkan aktifitas motorik.
b. Adjustment adalah mengubah lingkungan supaya menjadi sesuai dengan lingkunganya, misalnya keadaan dingin bisa saja orang membakar kayu untuk memenaskan tubuhnya. Salah satu cara tersebut dilakuakan seseoarang supaya tercapainya keseimbangan dengan lingkungannya (homeostatis).
Teori ini mirip dengan teori stimulus berlebihan, menjelakan bahwa suatu stimulus dapat dirumuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Nilai lain pada pendekatan ini adalah pengenalan tingkat adaptasi pada individu. Tingkat adaptasi dimana pada akhirnya individu terbiasa dengan lingkunganya atau tingkat pengharapan individu pada kondisi lingkungan tertentu. Bahkan pendekatan ini ketika menghadapi lingkungan yang sama akan memunculkan respon yang berbeda-beda.
Sarwono (1992) terdapat 3 katagori stimulus yang dijadikan acuan dalam psikologi lingkungan dengan tingkah laku yaitu : Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, suhu udara), Stimulus sosial dan gerakan. Dari ke tiga stimlus mengandung dimensi yaitu : intensitas,diversitas,dan pola
5. Teori stres lingkungan
Teori stres menekankan pada mediasi peran-peran, fisiologi, kognisi dalam interaksi antara manusia dan lingkungan. Pengindraan manusia dimana suatu respons stres yang terjadi pada segi-segi lingkungan melebihi tingkat optimal dan manusia itu akan merespons berbagai cara untuk mengurangi stres. Menurut (Sarwono,1992) reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stresor dapat berupa meningkatnya denyut jantung atau meningkatnya adrenaliin, sementara reaksi penolakan dapat berupa tubh menggigil kedinginan atau berkeringat kepanasan. Suatu bentuk coping, ketika individu akan bereaksi terhadap stresor, individu menghindar dan menyerang secara fisik atau verbal, atau mencari kompromi.
6. Teori ekologi
Menurut pemikiran oara ahli teori ekologi adalah gagasan tentang kecocokan manusia dengan lingkungan. Menurut Roger (dalam Sarwono, 1992) tingkah laku tidak hanya ditentukan dari gagasan kecocokan manusia dengan lingkungan, melainkan keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Menurut baker hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti dua arah atau interpendensi ekologi dan mempelajari hubungan timbal balik antara lingkungan dengan tingkah laku. Pada teori baker terdapat seting perilaku adalah pola tingkah laku kelompok bukan individu yang terjadi akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milleu).
Dikatakan oleh Vitch dan Arkkelin (1995) bahwa belum ada grands theories psikologi terdiri dalam psikologi lingkungan dan yang baru ini dalam tataran mini. Beberapa teori ini dari dasar empiris tetapi kurang didukung dari data empiris dan metode penelitian yang digunakan belum konsisten. Olehkarena itu 3 orientasi teori psikologi yang slanjutnya akan dipaparkan secara mendalam mengenai teori mini dalam psikologi. Salah satu teori medan Kurt Lewin dengan bermula B=f (E,O). Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan organisme. Berdasarkan premis dasar muncul beberapa teori mini seperti : teori beban lingkungan, teori hambatan perilaku, teori level adaptasi. Teori stres lingkungan dan teori ekologi.
Yang berbeda dari teori sebelumnya, akan dijelaskan adalah
Teori Beban lingkungan
Premis dasar teori ini adalah manusia mempunyai kapasitas terbatas. Menurut Cohen ada 4 dasar teori ini yaitu :
a. Manusia mempunyai kapasitas yang terbatas dalam pemrosesan informasi.
b. Ketika stimulus lingkungan melebihi kapasitas pemrosesan informasi, pemrosesan perhatian tidak akan dilakukan secara optimal.
c. Ketika stimulus sedang berlangsung diperlukan respon adaptif yaitu stimulus akan di evaluasi melalui proses pemantauan dana keputusan dibuat atas dasar respon pengatasan masalah
d. Jumlah perhatian yang diberikan orang tidak konstan sepanjang waktu tetapi tidak sesuai kebutuhan.
B. Metode Penelitian Dalam Psikologi Lingkungan
Veitch dan Arkkelin (1995) ada 3 metode yang biasa digunakan dalam psikologi lingkungan. Ketiga metode penelitian itu adalah: Eksperimen Laboratorium, Studi Korelasi, dan Eksperimen Lapangan.
a) Eksperimen Laboratorium
Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berhubungan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium merupakan pilihan yang biasa diambil. Metode ini memberikan kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasi secara sistematis variabel yang diasumsikan sebagai penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variable-variabel yang mengganggu (extraneous variables). Metode eksperimen laboratorium juga mengatur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini memilih subjek secara random dalam kondisi eksperimen, jadi setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen.
b) Studi Korelasi
Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode korelasi. Pada metode ini, studinya dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data.
Ketika korelasi digunakan, maka tidak ada penyimpulan yang dimungkinkan, karena hanya diketahui dari dua atau lebih variabel yang berhubungan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat menentukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan bermacam indikator dari patologi sosial dengan menggunakan metode korelasi, tetapi dia tidak dapat memberikan pernyataan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan patologi sosial. Berbeda dengan eksperimen laboratorium, studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.
c) Eksperimen Lapangan
Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapat dicapai melalui eksperimen laboratoruim dengan validitas internal yang dicapai melalui studi korelasi, maka dia dapat menggunakan eksperimen lapangan sebagai metode campurannya. Dengan menggunakan metode ini, eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu.
Untuk mencapai pengertian ilmiah terhadap suatu fenomena, seorang ilmuwan tidak hanya mengembangkan teori serta mengamati segala yang menjadi minatnya. Namun juga menentukan metode terbaik, baik untuk menguji teori maupun tujuan pengamatan. Pada analisis terakhir, peneliti harus menentukan tujuan spesifik penelitian kemudian memilih metode yang paling sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
sumber :